Perihal Malam




Penerang Siala Pekatnya malam

Penerang disudut sana kian meredup. Ia justru tak sudi lagi menjadi penuntunku dalam gulitanya langit malam. Ah, sial siapa peduli perkara penerang?!. Aku mampu berjalan sekalipun merangkak dipekatnya malam. Tenang saja akan ku berikan faktanya.

    Atmosfer disekitarku sekadar gelap mencekam sesekali semilir arus mengikuti damainya malam. Jalan setapak yang kulewatipun bagai jalanan pemberangkatan ke lembah kegelapan. Tak ada bintang atau rembulan. Yang tersedia kabut belaka, kabut malam yang enggan untuk beranjak pulang.  Semuanya seakan mendukung suasana sunyi malam ini. Bisikan binatang kecil juga ikut serta merta. Merayakan pesta malam dalam kegelapan. Aku mengusap lagi tengkuk belakang ku. Bulu kudukku seakan berdiri. Biarlah toh ini bukan kegelapan abadi Aku hanya butuh bertaktik guna menemukan penerang yang baru. Atau paling tidak sebentuk cahaya yang remang remang ala kadarnya.

        Aku berlanjut untuk berjalan terus lagipula ini bukan saatnya untuk mempertimbangkan masalah orang buta atau semacamnya. Tiba tiba kakiku tersandung materi yang sangat keras. Dan kurasa itu batu. Aku tersungkur begitu saja dan telapak tangankulah yang terpaksa aku fungsikan untuk menopang berat tubuhku moga wajahku tidak berciuman langsung dengan kerasnya aspal. Aku ingin menjerit. Siapa dengan teganya menaruh asal batu sebesar ini di jalanan?. Sakit itulah yang mendominasi kurasa ada zat semacam cairan yang keluar begitu saja tanpa ijin di ujung kakiku. Aku mencoba membuka perlahan sepatu yang kukenakan dan tepat sekali kakiku serasa lembab dan berbau amis. Itu pasti darah. Kendati aku tak dapat melihatnya langsung tapi munurutku itu benar benar darah. Dari segi baunya, kekentalannya aku percaya itu darah. Aku mengaduh kesakitan tapi tak seorang pun yang mendengar keluh kesahku. Ini bukanlah ujung. Aku harus tetap berupaya.

    Aku kembali berdiri tertatih. Mencoba tidak memperdulikan sebanyak apa cairan yang mengalir di ujung kakiku. Rasa rasanya air mataku ingin menetes namun berhasil aku tangguhkan. Toh untuk apa aku merintih dalam keadaan seperti ini tak ada seorangpun yang akan menolongku. Menangispun menjadi hal yang sia-sia. Aku berjalan lebih lelet dari sebelumnya sambil menyeret kaki kiriku yang ngilu. Aku harus tega. Jika tidak aku yang berjuang dan berusaha lalu siapa lagi? Orang lain tak akan hirau denganku, aku juga bukan siapa-siapa bagi mereka pun sebaliknya mereka bukan siapa-siapa yang pantas aku mintai pertolongan. Aku tau aku tidak sendirian sekarang ada binatang malam yang setia menjadi penonton atas cedera tanpa ada sedikitpun hasrat untuk menolong. Memang aku siapa yang berani berharap makin. Jagat sebesar dan semegah ini tak cukup genap untuk menampung orang sepertiku.

    Aku berjalan dan berjalan tanpa tau penjuru dan tujuan. Aku hendak terus berusaha walaupun nanti hasilnya nihil. Tak apa setidaknya aku pernah berusaha sekuat daya. Entah nanti aku bisa bernyawa atau berkalang tanah ditelan kegelapan itu urusan nomor sekian. Baru separuh langkah aku bergairah untuk lanjut berjalan namun kembali dibiaskan. Kakiku nyeri, ini lebih sakit dari yang terakhir kali. Kakiku sudah tak kekar untuk menopang badanku akhirnya aku bertempat. Tapi aku sesat untuk mencari tempat duduk karna yang ku duduki adalah serpihan dari penerang tadi. Bukan hanya kakiku sekarang yang cedera tapi juga lengan dan sekujur batang tubuhku. Kukira bajuku juga sama lusuhnya dengan keadaanku sekarang berjibun bercak air merah disana.

     Aku kembali tersadar, banyak serpihan penerang tadi yang memeluk mesra kakiku. Perih sakit dan segalanya yang menghancurkan. Aku terlalu remang untuk mencabut seluruh pecahan tadi alhasil aku hanya membiarkannnya. Membiarkan rasa sakit itu memelukku erat dan lebih erat. Sampai ia pun lupa cara untuk selamat. Aku memegangi lututku. Aku memejamkan sorotku menikmati segala rasa sakit yang seakan menyatu dengan ragaku. Sakit. Lalu tiba-tiba netraku terbuka dan napasku terengah. Lalu aku menyadari bahwa aku masih terbujur kaku di ranjang tempat tidurku.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjemput Kenangan

Who is Diandra Senja?

She Is The Moment