Sepi Yang Enggan Menepi
Kegelapan yang
membalut tubuhku menyelimutiku penuh sesak, seakan enggan memberiku kesempatan
untuk bernapas. Kesunyian
yang menggema di dalam tubuhku mencengkram erat, menyumbat semua celah-celah
sumber kabahagiaan meracuniku dari dalam hingga terlalu kabur untuk membedakan
mana kebahagiaan mana kesedihan.
Keheningan
yang membelantarkan diriku, memekakkan gendang telingaku menulikan musik-musik
yang memaksa menerobos masuk ke otakku, kini hanya mampu terngiang diluar
kepala menusukku dari luar berupaya menyerang apa yang menjadi penghalang, bahkan
aku tak tahu apa interpretasinya. Kehampaan
yang menguburku dalam jurang yang dinamakan kebinasaan. Keabadiaan seakan
melekat disana. Kau tau ada bau-bau menyengat yang menusuk indra penciumanku. Aku selalu
berhasrat semesta untuk mengirimkan setitik penerang. Membantuku untuk
menemukan kiblat pulang.
Yang aku
lakukan hanyalah menunggu. Menunggu datangnya keajaiban dari bumantara.
Kubayangkan ini lebih reslistis dari pada warita dongeng yang pernah aku baca.
Apakah aku tokoh utamanya? Ini warita yang ajaib, tokoh utama sebentar lagi
akan segera lenyap, tokoh utama tidak bisa menyelesaikan cerita yang
dilakoninya. Benar-benar payah. Aku kira aku melakukan penghinaan atas diriku
sendiri. Menanti, apa
itu menanti? Aku bahkan tak tau apa yang sedang aku nantikan. Kesenyian lagi?
Kehampaan lagi? Mungkin jika aku boleh bercita-cita, apakah itu sebuah kebahagiaan?
Tapi kebahagiaan macam apa? Seperti apa? Apakah kebagiaan itu seperti yang aku nalarkan
atau tidak? Bagaimana rasanya?
Aku letih.
Apakah aku boleh istirahat? Hanya jeda sesaat, aku ingat ini bukanlah kesimpulan
jadi aku tidak akan bertekuk lutut. Aku mulai tak optimis apakah aku sedang menanti
atau tidak? Atau yang lebih parahnya aku sudah menyerah dari mula. Aku memutuskan
untuk bertekuk lutut dan aku memutuskan untuk tidak bercita-cita apapun lagi.
Menanti adalah hal yang paling bodoh yang aku pernah kulakukan. Dan lebih
bodohnya lagi aku sedang meruntuki diriku yang bodoh. Silahkan dekap
aku semaumu. Silahkan tikam aku semaumu hancurkan aku hingga tiada lagi yang
tersisa atas diriku. Datanglah kegelapan, kesunyian, kekosongan, dan kehampaan.
Ada apa
diujung jalan sana. Seperti materi penyembuh. Sebuah lilin
dengan nyala agak redup ditengah gelap gulita. Netraku berbinar dan aku
bergumam menakjubkan. Aku seperti orang yang mendambakan setetes air ditengah
gurun. Aku seperti orang mengigil yang menemukan bara untuk menghangatkan. Binarku
menyala diterpa atmosfer semacam cahaya. Aku terjaga dari ketidakpastian yang
bercampur bahaya. Hanya dari lilin yang terang seadanya aku menemukan harapan
untuk bahagia.
Komentar
Posting Komentar