Aku Kamu dan Yogyakarta



    Anggaplah aku seorang pujangga yang dengan percaya diri mengukir rasa dengan kata. Kau ingat, dimana hari kita berjumpa. Dan kota Yogyakarta menjadi penonton yang akan memihak kita. Disepanjang jalan itu, ku dekap engkau dengan sangat gelisah. Berharap dengan paksa waktu berhenti di detik ini dan jalanan itu kembali menjadi milik kita. Kita rayakan pertemuan yang fana itu dengan senyum yang sangat berarti. Disanalah jiwa bahagia ku tertinggal. Bersama tatapan netra teduh mu yang sangat damai meruntuhkan semua keraguan. Bolehkan aku tinggal selamanya disana? atau paling tidak untuk beberapa saat? 

    Trotoar itu mungkin seramai kupu-kupu di perutku, berterbangan mencari sudut untuk sekadar memperpanjang durasi dan mengukir kenang. Dinginnya malam tak pernah mampu mengalahkan hangatnya genggaman tanganmu. Dan keramaian di sudut kota itu tak akan mampu mengusik dunia kita. Mari tenggelam sedalam-dalamnya dalam pertemuan ini, karna dikemudian hari ini hanyalah kenang yang lapuk di telan waktu. 

    Namun seperti telah menjadi ketetapan buana. Malam kembali memeluk bumantara dan aku kembali ke pelukanmu. Di detik terakhir aku menyadari waktu tak pernah berkolusi dan semesta tak pernah puas membentang jarak antara kita. Aku ditarik kembali menuju realita dan pulang dengan mata penuh dengan bulir putih siap untuk tumpah kapan saja.




- Yogyakarta, 18 Desember 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjemput Kenangan

Who is Diandra Senja?

She Is The Moment